Sabtu, 13 April 2013

DEVENISI HUKUM PIDANA, PERBUATAN PIDANA DAN ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA


 By : Muis

Defenisi hukum pidana
Sebelum penulis menjelaskan aspek hukum pidana dalam tata pemerintahan, maka ada baiknya penulis terlebih dahulu menjelaskan apa hukum pidana itu.   Definisi Hukum Pidana menurut beberapa ahli adalah (dalam Teguh Prasetyo, 2010:4-9) antara lain :
1.       Pompe, yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah: keseluruhan aturan ketentuan hukum
         mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
2.       Van Apeldoorn, menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari diberikan arti :
        Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu      dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :
a.       Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.
b.       Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.
        Sedangkan hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat             ditegakan.
3.       D. Hazewinkel Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam dua arti (dalam Adami              Chazawi, 2002: 9) yaitu:
a.       Objektif (ius poenale), yang meliputi:                         
1)       Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh badan yang berhak.
2)       Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.
b.       Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan (positif) atau tidak melakukan perbuatan dimaksud (negative).
Perbuatan Pidana
                Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.  Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno (1983:22) menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut.  Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.  
                Sementara itu Loebby Loqman (tanpa tahun:13) menyatakan bahwa suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a). perbuatan manusia baik aktif maupun pasif; b). perbuatan itu dilarang dan diancam dengan undang-undang; c). perbuatan itu melawan hukum; d). perbuatan itu dapat dipersalahkan dan e). pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.    Sehingga dengan demikian bahwa suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
·         Unsur-unsur obyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada perbuatan dapat berupa :
-. Perbuatan manusia contoh: mengambil
-. Suatu akibat perbuatan contoh: menghilangkan nyawa orang lain
-. Keadaan (omstandigheidn) contoh: merusak kesusilaan
·         Unsur-unsur subyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku (subyektif) tindak pidana, dapat berupa :
-. Salah (schuld) baik kesengajaan (opzet) maupun kelalaian (culpa)
-. Keadaan jiwa yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya (toerekeningvatbaarheid);
-. Predikat, contoh: PNS, Pejabat, ibu, dsb
Dalam persidangan pengadilan tindak pidana, maka kedua unsur tersebut harus dibuktikan, dan bagaimana bila unsur tersebut tidak dapat dibuktikan maka, sebagaimana menurut  Prof. Moeljatno keadaannya adalah sbb:
-          Bila unsur obyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa harus “dibebaskan” (vrijspraak);
-          Bila unsur subyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa “dilepaskan dari tuntutan hukum” (onslag van alle rechtsvervolging)
Ajaran Prof. Moeljatno ini biarpun terkenal namun tidak lah diikuti oleh seluruh hakim di Indonesia, selain dari ajaran Moeljatno itu tentang arti perbuatan pidana serta sebab-akibatnya, hakim-hakim di Indonesia juga banyak yang mengikuti ajaran Prof.Vrij di Negeri Belanda yang membedakan antara : “elementen” (unsur-unsur) dan “bestandelen” (bagian-bagian) dari tindak pidana.
-          Bestandelen adalah bagian-bagian dari perbuatan yang dirumuskan Undang-Undang.
-          Elementen adalah syarat bagi dilarangnya perbuatan dan diancam    dengan pidana yang terdiri dari: 
a.       Kemampuan bertanggung jawab sipelaku;
b.       Sifat buruk perbuatan itu;
c.        Perbuatan itu melawan hukum.
Tanpa dapat dibuktikannya bestandelen maka putusan hakim akan membebaskan (vrijspraak) terdakwa,  sedangkan tanpa elementen putusan akan melepaskan dari tuntutan (onslag van alle vervolging).
                Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat di ketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif ataupun subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1.        Harus ada suatu perbuatan. Dimana memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan tersebut terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa hukum. Perbuatan tersebut harus bertentangan dengan hukum;
2.        Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.
3.        Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
4.        Harus tersedia ancaman hukumannya. Yaitu harus ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal hukuman yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya.  Jadi dengan demikian maka untuk dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan dalam tata pemerintahan tersebut merupakan tindak pidana dan dapat diancam dengan sanksi pidana maka harus memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana.
Alasan-Alasan Penghapus Pidana
                Dalam Hukum Pidana dikenal adanya alasan-alasan penghapus pidana. Penghapusan pidana adalah hapusnya suatu pidana dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan oleh  Perundang-Undangan yang berlaku. Adapun alasan-alasan penghapusan pidana dalam hukum pidana ada dua macam (Schaffineiser, Et all, 1995:57)  yaitu :
1.       Alasan Pemaaf
        Dasar penghapus berdasar alasan pemaaf melihat dari sisi pelakunya (subyektif). Pada alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Sebagaimana diatur dalam KUHP yaitu:
a.       Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP)
b.       Daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP)
c.        Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat                 (noodweer exces) (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d.       Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51            ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pemaaf menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dianggap pidana dan dimaafkan jika ia melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.   Dalam konteks tata pemerintahan, maka sepanjang tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan tersebut adalah melaksanakan perintah jabatan sebagaimana yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
2.       Alasan Pembenar
        Dasar penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai- mana diatur dalam KUHP yaitu:
a.       Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
  1. Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
        Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka suatu perbuatan pidana tidak dapat dihukum sepanjang terdapat alasan pembenar dan pemaaf.  Dan sebaliknya, perbuatan itu dapat di hukum apabila tidak terdapat unsur pemaaf dan pembenarnya, termasuklah perbuatan tersebut dilakukan oleh fungsionaris pemerintahan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text