By : Muis
Defenisi hukum pidana
Sebelum penulis menjelaskan aspek hukum pidana dalam tata pemerintahan, maka
ada baiknya penulis terlebih dahulu menjelaskan apa hukum pidana
itu. Definisi Hukum Pidana menurut beberapa ahli adalah (dalam
Teguh Prasetyo, 2010:4-9) antara lain :
1.
Pompe, yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah: keseluruhan aturan ketentuan
hukum
mengenai perbuatan-perbuatan
yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
2.
Van Apeldoorn, menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari diberikan arti
:
Hukum Pidana materiil yang
menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu
dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai
dua bagian, yaitu :
a. Bagian objektif
merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana
positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan
ancaman pidana atas pelanggaranya.
b. Bagian
subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung
jawabkan menurut hukum.
Sedangkan hukum pidana formil
yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat
ditegakan.
3.
D. Hazewinkel Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam dua arti
(dalam Adami
Chazawi, 2002: 9) yaitu:
a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:
1) Perintah dan
larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh badan yang berhak.
2) Ketentuan-ketentuan
yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang
dinamakan Hukum Panitensier.
b. Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut
hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan
pidana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana
adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang atau
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat
diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan (positif) atau tidak
melakukan perbuatan dimaksud (negative).
Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana,
peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno (1983:22) menyatakan bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap
barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula
dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang
dicita-citakan oleh masyarakat.
Sementara itu Loebby Loqman (tanpa tahun:13) menyatakan bahwa suatu tindak
pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a). perbuatan manusia baik
aktif maupun pasif; b). perbuatan itu dilarang dan diancam dengan
undang-undang; c). perbuatan itu melawan hukum; d). perbuatan itu dapat
dipersalahkan dan e). pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Sehingga dengan demikian bahwa suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana apabila memenuhi unsur obyektif
dan unsur subyektif.
· Unsur-unsur
obyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada perbuatan dapat berupa :
-. Perbuatan manusia contoh: mengambil
-. Suatu akibat perbuatan contoh: menghilangkan nyawa
orang lain
-. Keadaan (omstandigheidn)
contoh: merusak kesusilaan
· Unsur-unsur
subyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
(subyektif) tindak pidana, dapat berupa :
-. Salah (schuld)
baik kesengajaan (opzet) maupun
kelalaian (culpa)
-. Keadaan jiwa yang dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya (toerekeningvatbaarheid);
-. Predikat, contoh: PNS, Pejabat, ibu, dsb
Dalam persidangan pengadilan tindak pidana, maka kedua
unsur tersebut harus dibuktikan, dan bagaimana bila unsur tersebut tidak dapat
dibuktikan maka, sebagaimana menurut Prof. Moeljatno keadaannya adalah
sbb:
-
Bila unsur obyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa
harus “dibebaskan” (vrijspraak);
-
Bila unsur subyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa
“dilepaskan dari tuntutan hukum” (onslag
van alle rechtsvervolging)
Ajaran Prof. Moeljatno ini biarpun terkenal namun
tidak lah diikuti oleh seluruh hakim di Indonesia, selain dari ajaran Moeljatno
itu tentang arti perbuatan pidana serta sebab-akibatnya, hakim-hakim di
Indonesia juga banyak yang mengikuti ajaran Prof.Vrij di Negeri Belanda yang
membedakan antara : “elementen” (unsur-unsur)
dan “bestandelen” (bagian-bagian)
dari tindak pidana.
-
Bestandelen adalah bagian-bagian dari perbuatan yang dirumuskan
Undang-Undang.
-
Elementen adalah syarat bagi dilarangnya perbuatan dan
diancam dengan pidana yang terdiri dari:
a.
Kemampuan bertanggung jawab sipelaku;
b.
Sifat buruk perbuatan itu;
c.
Perbuatan itu melawan hukum.
Tanpa dapat dibuktikannya bestandelen maka putusan hakim akan membebaskan (vrijspraak) terdakwa, sedangkan
tanpa elementen putusan akan melepaskan dari tuntutan (onslag van alle vervolging).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat di ketahui bahwa syarat yang harus
dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif ataupun subyektif yang
dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1. Harus ada suatu perbuatan.
Dimana memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan tersebut
terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain
sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa hukum. Perbuatan tersebut harus
bertentangan dengan hukum;
2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang
dilukiskan dalam ketentuan hukum. Perbuatan sebagai suatu peristiwa
hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang
benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib
mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan
syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat
disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
4. Harus tersedia ancaman hukumannya.
Yaitu harus ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam
suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi ancaman
hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal hukuman
yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Jadi dengan demikian maka
untuk dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan dalam tata pemerintahan tersebut
merupakan tindak pidana dan dapat diancam dengan sanksi pidana maka harus memenuhi
unsur-unsur dalam tindak pidana.
Alasan-Alasan Penghapus Pidana
Dalam Hukum Pidana dikenal adanya alasan-alasan penghapus pidana. Penghapusan
pidana adalah hapusnya suatu pidana dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan
oleh Perundang-Undangan yang berlaku. Adapun alasan-alasan penghapusan
pidana dalam hukum pidana ada dua macam (Schaffineiser, Et all, 1995:57)
yaitu :
1. Alasan Pemaaf
Dasar
penghapus berdasar alasan pemaaf melihat dari sisi pelakunya (subyektif). Pada
alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal
khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau
dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Sebagaimana diatur dalam KUHP
yaitu:
a.
Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP)
b.
Daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP)
c.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang
hebat
(noodweer exces) (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d.
Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
(Pasal 51 ayat (1)
KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pemaaf menyatakan bahwa suatu
perbuatan tidak dianggap pidana dan dimaafkan jika ia melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Dalam konteks tata
pemerintahan, maka sepanjang tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan
tersebut adalah melaksanakan perintah jabatan sebagaimana yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang.
2. Alasan Pembenar
Dasar
penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (obyektif).
Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya,
sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai
pelaku tindak pidana. Sebagai- mana diatur dalam KUHP yaitu:
a.
Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
- Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka suatu perbuatan pidana tidak dapat dihukum
sepanjang terdapat alasan pembenar dan pemaaf. Dan sebaliknya, perbuatan
itu dapat di hukum apabila tidak terdapat unsur pemaaf dan pembenarnya,
termasuklah perbuatan tersebut dilakukan oleh fungsionaris pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar